Dedek Okta Andi

Islam dan Psikologi

Rabu, 21 Juli 2010

Makalah tentang Riba

BAB I PENDAHULUAN

Gagasan adanya lembaga perbankan yang beroperasi berdasarkan prinsip syariat Islam berkaitan erat dengan gagasan terbentuknya suatu system ekonomi Islam.

Perbankan adalah produk baru hasil interaksi perekonomian di masyarakat yang kemudian menjadi suatu pembahasan di Negara kita.

Pesatnya perkembangan lembaga perbankan Islam ini karena Bank Islam memiliki keistimewaan-keistimewaan. Salah satu keistimewaan yang utama adalah yang melekat pada konsep (build in concept) dengan berorientasi pada kebersamaan. Orientasi kebersamaan inilah yang menjadikan bank Islam mampu tampil sebagai alternative pengganti system bunga yang selama ini hukumnya (halal atau haram) masih diragukan oleh masyarakat muslim.

Hal ini menjadi sangat penting untuk dikaji sebab baik dunia perbankan sudah lama dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai sesuatu yang berseberangan dengan prinsip hukum Islam dikarenakan sangat kentalnya sifat kapitalisme di dalam prinsip operasional perbankan.

BAB II PEMBAHASAN
RIBA DALAM PANDANGAN ISLAM

Kata ar-riba secara etimologis (bahasa) mempunyai konotasi az-ziyadah (pertambahan); raba as-syay’ artinya zada ‘amma kana ‘alayhi, bertambah dari kuantitas sebelumnya.[1] Perlu dicatat, bahwa konotasi kata Arab tidak akan terlepas dari tiga bentuk: Pertama, konotasi etimologis (al-ma’na al-lughawi); makna yang digunakan oleh orang Arab agar kata bisa menunjukkan makna tersebut. Dari sini, kata riba antara lain bisa berkonotasi “pertambahan” atau “peningkatan”. jika ada orang dikatakan, “Riba ar-rajulu fi qawmihi” konotasinya adalah, “Irtifa’a qadruhu,” (kemampuannya meningkat). Kedua, konotasi tradisional/konvensional (al ma’na al-urfi); makna kata tertentu yang bisaa digunakan oleh orang Arab untuk memperkenalkan sesuatu, bukan makna yang digunakan secara etimologis. Artinya, ketika kata tersebut digunakan, maknanya telah berubah dari konteks bahasa (lughawi) ke konteks tradisi/konvensi (‘urfi). Misalnya, dalam tradisi/konvensi para ulama ushul fiqh, kata ‘illat yang secara bahasa bermakna penyakit dimaknai sebagai sabab at-tasyri’ (latar belakang turunnya hukum); atau kata al-haim yang secara bahasa berarti hakim, komandan, pimpinan dimaknai sebagai pembuat hukum, yakni Allah. Dalam konteks pula, riba, secara tradisional/konvensional adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan pertambahan yang ditetapkan sebagai kompensasi penangguhan utang, seperti ungkapan; A qadhi ammaturbil? (apakah anda mau dibayar cash atau ditangguhkan dengan kompensasi tambahan).[2] Ketiga, konotasi syar’I (al-mana as-syar’i); makna yang dikehendaki oleh masyarakat melalui penggunaan kata tertentu, bukan makna asal yang digunakan secara etimologis, misalnya kata as-shawm (puasa) secara syar’I digunakan untuk menyebut ibadah tertentu yang terik dengan waktu, tempo dan aturan tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada kata ar-riba yang digunakan oleh syari’at untuk menunjukkan pertambahan dalam muamalah tertentu, bukan yang lain; ar-riba berbeda pula dengan al-bay’ (jual-beli).

Dengan demikian, setelah riba dideskripsikan oleh syariat tidak lagi berkonotasi pertambahan secara mutlak, tetapi konotasinya menjadi: penambahan akibat pertukaran jenis tertentu, baik yang disebabkan oleh kelebihan dalam pertukaran dua harta yang sejenis di tempat pertukaran (majlis at-tabadul), seperti yang terjadi dalam riba al-fadl, ataupun disebabkan oleh kelebihan tenggang waktu (al-ajal), sebagaimana yang terjadi dalam riba an-nasi’ah aw at-ta’khir.[3] Inilah defenisi riba secara syar’i.

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muallat dalam Islam.

Mengenai hal ini Allah SWT mengingatkan dalam firmanNya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salaing memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadanu. (QS. An-Nisa: 29).

Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, ibnu al-arabi al-maliki, dalam kitabnya ahkam al-qur’an, menjelaskan:

“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanyya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.”

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya menfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil misalnya, sesudah dipakai nilai ekonomisnya pasti menurun, jika dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yagng diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah si peminjaman diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.

Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung dan bisa saja rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqhiyyah. Di antaranya:

1. Badr Ad-Sin Al-Ayni pengarang umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”

2. Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi: “Riba adalah tambahan yang disyratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”

3. Raghib Al Asfahani: “Riba adalah penambahan atas harta pokok.”

4. Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i: Dari penjelasan Imam An-Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang dilarang al-Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsure waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman.

5. Qatadah: “Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”

6. Zaid bin Aslam: “Yang dimaksud dengan riba jahiliyah yang berimplikasi pelipat-gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: “bayar sekarang atau tambah.”

7. Mujahid: “Mereka menjual perdagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar) si ipembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”

8. Ja’far Ash-Shadiq dari kalangan Syiah: Ja’far Ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah SWT mengharamkan riba – “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia.”

9. Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali: “Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang riba beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus manambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”

10. Asy-Syaikh Abdurrahman Taj mengatakan bahwa, riba adalah setiap tambahan yang berlangsung pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’wwadhah tanpa mendapat imbalan; atau tambahan itu diperoleh karena peanngguhan.”[4]

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba yadd. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.[5]

1. Riba Qardh adalah praktek riba dengan cara meminjamkan uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi utang.

2. Riba Yadd adalah praktek riba yang dilakukan oleh pihak yang peminjam yang meminjamkan uang/barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima barang (aqad timbang terima). Munculnya riba dalam keadaan ini dalah karena dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan.

3. Riba Fahdl adalah praktek riba dalam bentuk menukarkan barang yang sejenisnya tetapi tidak sama keadaannya atau menukar barang yang sejenis tetapi saling berbeda nilainya.

4. Riba Nashi’ah adalah praktek riba memberikan hutangan kepada orang lain dengan tempo yang jika terlambat mengembalikannya akan dinaikkan jumlah/nilainya sebagai tambahan atau sanksi.

Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Imam Ibnu Hajar al-Haitsami: “Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadhl, riba al-yadd, dan riba an-nashiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al-Qur’an dan Hadits nabi.”

Para ahli fiqh Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan keismpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi meliputi:

1. Emas dan perak, baik itu didalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.

2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitan dengan perbankan syari’ah implikasi ketentuan tukar-menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Jual-beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah Rp. 50.000,00 dengan Rp. 50.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.

2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp. 50.000,00 dengan 1 dollar Amerika.

3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada waktu akad. Misalnya mata uang (emas, perak atau kertas) dengan pakaian.

Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.

Larangan Riba Dalam al-Qur’an dan As-Sunnah

Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya ummat Islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari surat dalam al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keharamannya, sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’ (konsesus) kaum muslimin, termasuk mazhab yang empat.[6]

1. Larangan Riba dalam Al-Qur’an

Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.

Tahap pertama, menolak anggapan bahwa peminjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT. Ayat ini diturunkan di Mekkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai pengharaman riba. Yang ada hanyalah kebencian Allah terhadap riba, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas riba.

Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Qs. Ar-Rum [30]: 39)

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam member balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (Qs. An-Nisa’ [4]: 160-161).

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang belipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktekkan pada masa tersebut. Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Qs. Ali-Imran [3]:130).

Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa criteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari peaktek pembungaan uang pada saat itu.

Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al-Baqarah [2] yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan Pembenaran Pengambilan Riba”, point “Berlipat-Ganda”).

Tahap terakhir, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang dituurunkan menyangkut riba.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Qs. Al-Baqarah [2]: 278-279)

Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jikalau kita cermati bersama asbaun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Ja’rir Ath-Thabariy meriwayatkan bahwa “Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang mereka, demikian juga piutang (tagihan) mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah Fathul Mekkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Adalah Bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahilliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak. Maka datanglah Bani Amr untuk menagih hutang dengan tambahan (riba) dari Bani Mughirah –seperti sediakala- tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini Gubernur Itab langsung menulis surat kepada RAsulullah SAW dan turunlah ayat diatas. Rasulullah SAW lantas menulis surat balasan kepada gubernur Itab ‘jikalau mereka ridha dengan ketentuan Allah diatas maka itu baik, tetapi jikalau mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”

Dengan turunnya ayat ini, maka riba telah diharamkan secara menyeluruh. Tidak lagi membedakan banyak maupun sedikit. Ayat ini dan tiga ayat riba berikutnya sekaligus merupakan ayat tentang hukum yang terakhir. Bagi kaum muslimin saat ini maka hukum yang berlaku adalah hukum pada ayat yang terakhir, yang telah menasakhkan hukum riba pada ayat-ayat sebelumnya. Juga, ayat diatas tadi menjelaskan bahwasannya riba telah diharamkan dalam segala bentuknya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai kebenarannya. Sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan kitab Allah, Sunnah Rasul dan Ijma’ sahabat, termasuk mazhab yang empat.

2. Larangan Riba dalam Hadits

Pelarangan riba dalam Islam tak hanya merujuk pada al-Qur’an melaihkan juga al-Hadits. Sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui al-Qur’an, pelanggaran riba dalam hadits lebih terinci.

Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriyah, Rasulullah SAW masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.

Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu, dan DIa pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang poko) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.”

Alasan Pembenaran Pengambilan Riba

Sekalipun ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih, masih saja ada beberapa cendikiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alas an:

1. Dalam keadaan darurat

2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang. Sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak menzalimi, diperkenankan.

3. Bank, sebagai lembaga, tidak termasuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.

4. Hanya riba yang konsumtif yang dilarang, tapi yang produktif tidak apa-apa.

1. Darurat

Untuk lebih memahami pengertian, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat ini seperti yang dinyatakan oleh syara’ (Allah dan Rasul-Nya) bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.

Imam As-Suyuthi dalam bukunya Al-Asybah wa An-Nadhair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan suatu tindakan dengan cepat, maka akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.”

Dalam literature klasik keadaan emergency ini sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, maka dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan 2 batasan:


Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. Al-Baqarah [2]: 173)

Pembatasan yangpasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama dalam al-qawaid al-fiqhiyah seputar kadarurat. Sesuai dengan ayat diatas para ulama meluruskan kaidah: “Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya.” Artinya darurat itu aad masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya dihutan itu ada sapi atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup dengan tiga suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.

2. Berlipat Ganda

Pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan. Sementara bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali-Imran [3] ayat 130.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Sepintas surat Ali-Imran [3]: 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Namun pemahaman kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengkaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya. Secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fasse-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.

Kriteria berlipat ganda dalam hal ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba, dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat artinya kalau terjadi perlipat-gandaan, maka riba, jikalau kecil tidak riba.

Menanggapi hal ini, Dr Abdullah Draz, dalam salah satu konfrensi fiqh Islami di Paris, 1978 menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Beliau menjelaskan secara linguistic arti “kelipatan” sesuatu belipat minimal 2 kali lebih besar dari semula. Sementara adalah bentuk jama’ dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. Dengan dmeikian berarti 3x2=6 kali. Sementara dalam ayat adalah ta’kid untuk penguatan.

Dengan demikian menurut beliau, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat, maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan-pinjam.

Menanggapi pembahasan Qs. Ali-Imran [3]: 130 ini Syaikh Umar bin Abdul Aziz al-Matruk, menegaskan:

“Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surat Ali-Imran, termasuk redaksi berlipat-ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian redaksi ini (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminology syara (Allah dan RasulNya).”

3. Badan Hukum dan Hukum Taklif

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian BCA, Bank Danamon, atau Bank Lippo, tidak terkena hukum taklif karena pada saat nabi hidup belum ada.

Pendapat jenis ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi historis maupun teknis.

a. Adalah tidak benar pada zaman pra-Rasulullah tidak ada “badan hukum” sama seklai. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari pihak penguasa. Atau dengan kata lain, perseroan mereka telah masuk ke lembaran Negara.

b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Juridical personality ini secara hukum adalah sah dan dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan.

Dilihat dari sisi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat melakukan mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan seorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga mafia dalam memproduksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat terlarang tidaklah sama lembaga mafia jauh lebih besar dan berbahaya. Alangkah naïfnya jika kita mengatakan apapun yang dilakukan lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan insane mukallaf. Memang ia bukan insane mukallaf tetapi melkukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dengan lembaga rente. Kdua-duanya lintah darat yang mencekik rakyat kecil. Bedanya, rentenir dalam skala kecamatan atau kabupaten sementara rente meliputi proopinsi, Negara, bahkan global.

4. Riba yang Produktif

Orang-orang ini beranggapan bahwa riba produktif yang diperbolehkan, boleh menurut mereka ini dasarnya adalah bahwa riba yang dilarang sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah adalah praktek riba untuk keperluan konsumtif.

Alas an seperti ini terlalu dibuat-buat, dan sama saja dengan cermin sifat-sifat orang menafik dan tingkah laku orang-orang Yahudi yang senantiasa mencari-cari alas an untuk membenarkan tindakan merekalafaz ar-riba adalah bermakna umum. Huruf alif dan lam didepan kata “arriba” menunjukkan sifat lil jins atau lil istighraq yang melukiskan keumumnya.[7] Berdasarkan pengertian ini, maka lafadz “ar-riba” berarti mencakup semua keadaan, baik itu yang konsumtif maupun yang produktif, keduanya termasuk riba yang diharamkan.

Untuk mengecualikan hukum-hukum dari lafadz yang umum diperlukan dalil-dalil yang lain yang mentakhsiskan (mengkhususkan) keumumannya. Dalam masalah riba, tidak ada satupun nash yang mentakhsiskan hukumnya dari ayat-ayat yang turun tentang riba. Dengan demikian hukum riba berlaku sesuai dengan keumuman lafadznya.

Sekali lagi, Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama member keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbadaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam table berikut.

Dampak Negatif Riba

1. Dampak Ekonomi

Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semkin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu bawang.

Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjaman dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Contoh paling nyata adalah hutang Negara-negara berkembang kepada Negara-negara maju. Meskipun disebut penjaman lunak, artinya dengan suku bunga rendah, pada akhirnya Negara-negara penghutang harus berhutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Sehingga, terjadilah hutang yang terus menerus. Ini yang menjelasakan proses terjadinya kemiskinan structural yang menimpa lebih dari separuh masyarakat dunia.

2. Social Kemasyarakatan

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain agar berusaha dan mengembalikan misalnya, dua puluh lima persen lebih tinggi dari jumlah yang dipinjamkannya. Persoalannya, siapa yang bisa menjamin bahwa usaha yang dijalankan oleh orang itu nantinya mendapatkan keuntungan lebih dari dua puluh lima persen? Semua orang, apalagi yang beragama, tahu bahwa siapapun tidak bisa memastikan apa yang terjadi besok atau lusa. Dan siapapun tahu bahwa berusaha memiliki dua kemungkinan, berhasil atau gagal. Dengan menetapkan riba, berarti orang sudah memastikan bahwa usaha yang dikelola pasti untung.

Ancaman Terhadap Pelaku Riba

1. Ancaman dari Al-Qur’an

Å¡ (Qs. Al-baqarah [2]: 275)

Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dalam ayat diatas Allah mencela orang yang memakan riba (al-ladzina ya’kuluna ar-riba) seraya menyamakan mereka dengan orang yang berdiri gontal laksana berdirinya orang yang kersaukan setan; lupa diri dan ingatan, alias tidak waras (la yaqumuna illa kama yaqumu al-ladzi yatakhabbatuhu as-syaythan min al-massi). Celaan ini sangat keras, bahkan sangat menyakitkan. Sebab Allah SWT bukan hanya mencela, tetapi telah mennyamakan orang yang dicela dengan orang yang kerasukan setan. Disini Allah senagaja menggunakan uslub tasybih (gaya perumpamaan) untuk menguatkan negatifnya image orang yang memakan (ya’kuluna) riba atau menurut Imam As-Suyuthi, juga orang yang menghalalkan (yastahilluna)-nya.[8]

Abdullah bin Abbas menerangkan mengenaii ayat ini bahwasannya pelaku riba dan pemakan kelak dihari kiamat akan dikatakan: “Angkatlah senjatamu untuk berperang”[9]

Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni lebih lanjut menerangkan dalam tafsirnya: “Dipersamakannya pemakan riba dengan orang-orang yang kesurupan adalah suatu ungkapan yang halus sekali, yaitu allah memasukkan riba kedalam perut mereka lalu barang itu memperberat mereka, yang menyebabkan ia sempoyongan dan jatuh bangun. Hal ini menjadi cirri-ciri mereka di hari Kiamat sehingga semua orang mengenalnya.”[10]

Sekalipun Allah tidak menyebutkan wajh-as-syabah (wujud persamaan)-nya, setiap orang yang mau membandingkan kaduanya akan bisa menemukan jawabannya, bahwa kedua-duanya lupa diri (tidak waras). Sebagian ahli tafsir, seperti Imam Asy-Syaukani, menafsirkan la yaqumuna (tidak bangkit) adalah tidak bangkit pada hari kiamat. Artinya, pada hari kiamat kelak, orang yang memakan riba akan dibangkitkan menjadi gila sebagai siksaan bagi mereka.[11]

Selanjutnya Allah memberi alasan, mengapa mereka dikatakan “tidak waras” atau “berdiri gontai”? Jawabannya, karena mereka menganggap bahwa jual beli itu sama dengan riba (dzalika bi annahum qalu innama al-bay’u mitslu ar-riba). Bagaimana tidak, jual beli yang jelas-jelas beda dengan riba dikatakan sama; hukum jual beli adalah halal, sedangkan riba jelas haram (wa ahalla Allahu wa harrama ar-riba). Disini Allah menyebut ar-riba setelah al-bay’u karena riba merupakan derivate jual beli yang ditambah dengan kompensasi tertentu, baik akibat pertambahan waktu (nasi’ah) maupun kelebihan pertukaran barang (fadhl); sekaliipun kemudian masing-masing mempunyai hukum berbeda, karena manath al-hukm (fakta hukum)-nya jelass berbeda. Karena itu kecaman diatas bukan hanya ditujukan untuk orang yang memakan riba nasi’ah, tetapi juga untuk riba fadhl.[12]

Orang yang telah memakannya sebelum diturunkannya hukum riba, kemudian setelah hukum tersebut turun, dia menghentikan praktek riba (faman ja’ahu maw’idhatu min rabbihi fantaha), masih mempunyai hak atas harta yang diperolehnya dimasa lalu (falahu ma salafa), dan urusannya diserahkan kepada Allah (wa amruhu ila Alllahi). Akan tetapi jika setelah diturunkannya hukum tersebut lebih masih mengulangi praktek yang sama, maka mereka adalah para penghuni neraka yang akan kekal didalamnya (wa man ‘ada fa’ula’ika ashhabun annar, hum fi ha khalidun), pernyataan Allah ini merupakan qarinah (indicator) yang tegas, yang membuktikan keharaman hukum riba.

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Qs. Al-Baqarah [2]: 279).

Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.

Dalam ayat diatas Allah menegaskan, bahwa Dia memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (yamhaqu Allah ar-riba wa yurbi as-shadaqat). Allah menyetakan demikian untuk memperbaiki persepsi, bahwa sekalipun secara matematis riba menggantungkan, disisi Allah dinihilkan. Sebaliknya, sedekah yang matematis merugikan, karena harta disedekahkan berkurang, disisi Allah dilipatgandakan. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan: Wallahu la yuhibbu kula kaffarin atsim (Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa).

2. Ancaman dalam Hadits dan Pendapat Para Sahabat

Tidak ada seorang muslimpun yang tidak mengetahui bahwa melakukan riba adalah sesuatu yang telarang dan harus dihindari. Bahkan riba termasuk salah satu dosa besar. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda:

“Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan… (salah satunya adalah) memakan riba…” [HR. Bukhari dan Muslim]

Oleh karena itu, orang yang melakukan riba akan mendapatkan laknat dari Allah SWT, sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir bahwasannya Rasulullah SAW telah melaknat orang yang memakan riba, yang memberikan makan, penulisnya dan dua orang saksinya. Beliau bersabda:

“Mereka itu (yang memakan riba, yang member makan dari hasil riba, yang menulis dan saksinya) sama saja (hukumannya).” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hudzaifah]

Didalam hadits-hadits yang lain dinyatakan bahwa perbuatan riba lebih menjijikan dari pada perbuatan zina. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi SAW bersabda:

“Riba itu mempunyai 73 pinta; sedangkan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya…” [HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim, no. 2275, dari Ibnu Mas’ud dengan sanad shahih].

“Satu dirham yang diperoleh seesorang dari hasil riba lebih besar dosanya 36 kali dari pada perbuatan zina dalam Islam.” [HR. Baihaqi dari Anas bin Malik].

“Apabila muncul perzinaan dan (berbagai jenis bentuk) riba dalam suatu negeri (kampong), maka benar-benar orang yang sudah mengabaikan (tidak peduli) sama sekali terhadap azab Allah (yang akan menimpa mereka).” [HR. Tabrani dan al Hakim].

Dalam menanggapi Qs. Al-Baqarah [2]: 275, Abdullah bin Abbas ra, berkata: “Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang imam (khalifah) untuk menasehati orang-orang tersebut. Jika mereka masih tetap keras kepala, maka seorang imam dibolehkan untuk memenggal lehernya.”[13]

Menurut Muhammad Ali As-Sais, jika seseorang melakukan perbuatan riba tetapi tidak taubat, maka seorang imam harus menjatuhkan hukuman ta’zir terhadap orang tersebut.

Berdasarkan keterangan diatas apabila Daulah Khalifah Islamiyyah (Negara Khalifah) telah berdiri, maka praktek-praktek riba apapun bentuk dan namanya harus dihapuskan. Bagi orang yang masih melakukan riba akan dihadapi sanksi yang sangat keras didunia, dan akhirat kelak akan mendapatkan dirinya dilempar dan kekal di neraka.

Abu Hurairah ra. Berkata bahwasannya Rasulullah SAW telah berkata:

“Tatkala malam aku memi’rajkan, aku melihat suatu kaum yang perut mereka bagaikan rumah, tampak didalamnya ular-ular berjalan keluar, lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai Jibril?” Jawab Jibril, “Mereka adalah para pemakan riba.”

Barangkali ada baiknya jika kita meneladani bagaimana sikap para sahabat dalam menghadapi persoalan ini. Diriwayatkan bahwa Umar ra, berkata: “Di antara ayat-ayat yang terakhir turunnya adalah ayat tentang riba, dan Rasulullah meninggal dunia sebelum menerangkan perinciannya kepada kami, oleh karena itu tinggalkanlah riba dan setiap hal yang meragukan.”

“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (tatkala) tiada seorang pun diantara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)-nya.” [HR. Ibnu Majah, no. 2278].


DAFTAR PUSTAKA

Imam Ath-Thabariy, Tafsir Ath-Thabariy, juz I, hal. 388; Imam Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, juz I, hal. 348; Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, juz I, hal 294; Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkham, juz I, hal. 421; Asy-Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Tafsir Ayat Al-Ahkham.

Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, juz I.

Asy-Syaikh Muhammad Ahmad ad-Da’ur, Radd ‘ala Muftarayat Hawla Hukm ar-Riba wa Fawa’id al Bunuk.

Asy-Syaikh Abdurrahman Taj, dalam majalah Alliwa Al-Islam Edisi II/1952.

Drs. Shadiq SE dan H. Shallahuddin Chaeri, Kamus Istilah Agama.

Asy-Syaikh Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala Madzhaabil Arba’ah, jilid III.

Imam Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, juz I.

Imam As-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur, juz.

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu katsir, juz I.

Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkham, juz I.

Imam Asy-Syaukani, Fath al Qadr, juz I.

Imam As-Syaukani, Fath al-Qadir, juz I.

Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz I.



[1] Lihat Imam Ath-Thabariy, Tafsir Ath-Thabariy, juz I, hal. 388; Imam Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, juz I, hal. 348; Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, juz I, hal 294; Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkham, juz I, hal. 421; Asy-Syaikh Muhammad Ali As-Sais, Tafsir Ayat Al-Ahkham, hal. 162.

[2] Lihat Imam Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, juz I, hal. 294

[3] Lihat Asy-Syaikh Muhammad Ahmad ad-Da’ur, Radd ‘ala Muftarayat Hawla Hukm ar-Riba wa Fawa’id al Bunuk, hal. 35 – 36.

[4] LihatAsy-Syaikh Abdurrahman Taj, dalam majalah Alliwa Al-Islam Edisi II/1952.

[5] Lihat Drs. Shadiq SE dan H. Shallahuddin Chaeri, Kamus Istilah Agama, hal. 591.

[6] Lihat Asy-Syaikh Abdurrahman al-Jazairi, al-Fiqh ‘ala Madzhaabil Arba’ah, jilid III, hlm. 202 dan 204

[7] Lihat Imam Al-Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, juz I, hal. 358.

[8] Lihat Imam As-Suyuthi, ad-Durr al-Mantsur, juz, hal. 326.

[9] Lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu katsir, juz I, hal. 326

[10] Lihat Asy-Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkham, juz I, hal. 425

[11] Lihat Imam Asy-Syaukani, Fath al Qadr, juz I, hal. 295.

[12] Lihat Imam As-Syaukani, Fath al-Qadir, juz I, hal. 294

[13] Lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz I, hal. 330 - 331



Selasa, 12 Januari 2010

Subject: kisah se'ekor monyet

Seekor anak monyet bersiap-siap hendak melakukan perjalanan jauh. Ia merasa sudah bosan dengan hutan tempat hidupnya sekarang. Ia mendengar bahwa di bagian lain dunia ini ada tempat yang disebut "hutan" di mana ia berpikir akan mendapatkan tempat yang lebih "baik". "Aku akan mencari kehidupan yang lebih baik!" katanya. Orangtua si Monyet, meskipun bersedih, melepaskan kepergiannya. "Biarlah ia belajar untuk kehidupannya sendiri," kata sang Ayah kepada sang Ibu dengan bijak.

Maka pergilah si Anak Monyet itu mencari "hutan" yang ia gambarkan sebagai tempat hidup kau Monyet yang lebih baik. Sementara kedua orangtuanya tetap tinggal di hutan itu. Waktu terus berlalu, sampai suatu ketika, si Anak Monyet itu secara mengejutkan kembali ke orangtuanya. Tentu kedatangan anak semata wayang itu disambut gembira orangtuanya.

Sambil berpelukan, si Anak Monyet berkata, "Ayah, Ibu, aku tidak menemukan hutan seperti yang aku angan-angankan. Semua binatang yang aku temui selalu keheranan setiap aku menceritakan bahwa aku akan bergi ke sebuah tempat yang lebih baik bagi semua binatang yang bernama hutan." "Malah, mereka mentertawakanku." sambungnya sedih. Sang Ayah dan Ibu hanya tersenyum mendengarkan si Anak Monyet itu. "Sampai aku bertemu dengan Gajah yang bijaksana," lanjutnya, "Ia mengatakan bahwa sebenarnya apa yang aku cari dan sebut sebagai hutan itu adalah hutan yang kita tinggali ini!. Kamu sudah mendapatkan dan tinggal di m hutan itu!" Benar, anakku. Kadang-kadang kita memang berpikir tentang hal-hal yang
jauh, padahal apa yang dimaksud itu sebenarnya sudah ada di depan mata."

Kita semua adalah si Anak Monyet itu. Hal-hal sederhana, hal-hal ada di sekitar kita tidak kita perhatikan. Justru kita melihat hal yang "jauh-jauh" yang pada dasarnya sudah di depan mata. Kita gelisah dengan karir pekerjaan, kita gelisah dengan sekolah anak-anak, kita gelisah dengan segala

rencana kehidupan kita. Padahal, yang pekerjaan kita sekarang adalah bagian dari karir kita. Padahal, anak-anak kita bersekolah sekarang adalah bagian dari proses pendidikan mereka dan hidup yang kita jalani adalah bagian dari rangkaian kehidupan kita ke masa yang akan datang.

Tanpa mengecilkan arti masa depan dan sesuatu yang lebih baik, ada baiknya apabila kita fokus dengan apa yang ada di depan mata, apa yang kita kerjakan sekarang, karena hal ini akan berpengaruh terhadap masa depan Anda. Dia memandangku dan berkata, "Kamu belajar dengan cepat, tapi jawabanmu masih salah karena banyak orang yang buta."

Gagal lagi, aku meneruskan usahaku mencari jawaban baru dan dari tahun ke tahun, Ibu terus bertanya padaku beberapa kali dan jawaban dia selalu, "Bukan. Tapi, kamu makin pandai dari tahun ke tahun, anakku."

Akhirnya tahun lalu, kakekku meninggal. Semua keluarga sedih. Semua menangis. Bahkan, ayahku menangis. Aku sangat ingat itu karena itulah saat kedua kalinya aku melihatnya menangis. Ibuku memandangku ketika tiba giliranku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kakek.

Dia bertanya padaku, "Apakah kamu sudah tahu apa bagian tubuh yang paling penting, sayang?"

Aku terkejut ketika Ibu bertanya pada saat seperti ini. Aku sering berpikir, ini hanyalah permainan antara Ibu dan aku.

Ibu melihat kebingungan di wajahku dan memberitahuku, "Pertanyaan ini penting. Ini akan menunjukkan padamu apakah kamu sudah benar- benar"hidup". Untuk semua bagian tubuh yang kamu beritahu padaku dulu, aku selalu berkata kamu salah dan aku telah memberitahukan kamu kenapa. Tapi, hari ini adalah hari di mana kamu harus belajar pelajaran yang sangat penting."

Dia memandangku dengan wajah keibuan. Aku melihat matanya penuh dengan air mata. Dia berkata, "Sayangku, bagian tubuh yang paling penting adalah bahumu." Aku bertanya, "Apakah karena fungsinya untuk menahan kepala?" Ibu
membalas, "Bukan, tapi karena bahu dapat menahan kepala seorang teman atau orang yang kamu sayangin ketika mereka menangis. Kadang-kadang dalam hidup ini, semua orang perlu bahu untuk menangis. Aku cuma berharap, kamu punya cukup kasih sayang dan teman-teman agar kamu selalu punya bahu untuk menangis kapan pun kamu membutuhkannya."

Akhirnya, aku tahu, bagian tubuh yang paling penting adalah tidak menjadi orang yang mementingkan diri sendiri. Tapi, simpati terhadap penderitaan yang dialamin oleh orang lain. Orang akan melupakan apa yang kamu katakan... Orang akan melupakan apa yang kamu lakukan... Tapi, orang TIDAK akan pernah lupa bagaimana kamu membuat mereka berarti.

"Masa depan Anda, karir Anda, serta kehidupan Anda adalah yang Anda kerjakan hari ini."
(allah swt tidak akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak berusah utq merubahnya sendiri & tidak ad yg dapat merubah suatu TAKDIR KECUALI DENGAN DO'a)

sumber : "Tausiah Online"

Kemanakah Waktu Sisa Kita?

Apa yang bisa kita berikan pada Allah?
Seberapa bagus sesuatu yang bisa kita persembahkan untuk Zat yang Maha Pengasih,yang telah memenuhi semuaaaa kebutuhan kita? Allah memang tidak pernah meminta balasan atas segala kecukupan yang diberikan kepada manusia, namun benarkah status derajat tertinggi diantara para makhluk membuat manusia lupa berterimakasih dan memberikan yang terbaik padaNya? Diakui atau tidak diakui Dia telah banyak mengabulkan keinginan kita,entah cepat atau lambat.

Mari kita ingat kembali,24 jam waktu yang diberikan Allah,berapa persen yang kita tujukan untuk Dia? Bagi Rasul SAW yang tingkat keimanannya diatas manusia pada umumnya, sesungguhnya seluruh waktunya tidak pernah lupa tanpa melibatkan Allah. Bagaimana dengan kita saat ini? Allah hanya mendapat ‘Waktu Sisa’
Ya Benar.. waktu sisa bekerja, waktu sisa bepergian,waktu sisa keluarga,waktu sisa bersenang-senang,bahkan waktu sisa tidur!

Coba ketika adzan berkumandang,ketika itu panggilan Allah meminta kita menghadapNya..
Apa sikap kita? bersegera memenuhi panggilanNya ataukah ‘Ntar dulu ah..’

Ketika adzan subuh, kita berpikir nanti lha jam 06.30..padahal subuh jam 04.20. Maka Allah mendapat waktu sisa dari Tidur kita.
Ketika adzan dhuhur,kita tunda lagi sholat hingga akhir wkt dhuhur dengan berbagai alasan,sibuk bekerja,sedang makan siang,dll.. Maka Allah kembali mendapat waktu sisa dari kesibukan kita.
Demikian pula waktu ashar,maghrib dan isya..
Allah selalu mendapat sisa dari waktu tidur siang kita, sisa dari waktu nonton sinetron,sisa dari waktu mencari rezeki. Padahal ketika seseorang paham bahwa yang mengatur rezekinya adalah Allah, dia tidak perlu takut kehilangan rezekinya akan diambil orang. Karena hidup, mati,rezeki telah Allah tetapkan sejak sebelum seseorang lahir. Tidak akan berkurang rezeki itu hanya karena kita sebentar meninggalkan urusan dunia untuk melakukan sholat tepat waktu.

Sebegitu besarnya kasih sayang Allah pada kita,mengapa kita hanya bisa memberi waktu sisa?

Jika ada pertanyaan mana yang lebih utama, Sholat dulu baru makan atau Makan dulu baru sholat?

Masing-masing jawaban menunjukkan tingkat keimanan & kecintaan seorang hamba dan pemiliknya. Bagi anak-anak dan remaja jika menjawab makan dulu baru sholat,agar sholatnya tidak perlu memikirkan makan.. hal ini bisa dipahami.
Namun jika orang tua yang menjawab ini, perlu dipertanyakan.. apakah di usia yang sudah banyak, masih terus mengutamakan makan daripada sholat?
Kapan keimanannya bertambah jika yang dipikirkan selalu makan,makan dan makan? Apakah semenjak anak-anak selalu mendahulukan makan mengakhirkan sholat hari tuapun demikian? Hanya seperti itukah yang bisa kita persembahkan pada Allah yang telah memenuhi semuaaaa kebutuhan hidup kita?

Sesungguhnya Hati yang Terkunci itu adalah ketika usia terus bertambah namun kesadaran keimanan bukan bertambah baik namun bertambah buruk…

GR Pegawai Bank Riau


Event : Adventure Camp

Tema : Team Building

Peserta : Pegawai Bank Riau

Waktu : 07 Oktober 2009, 08.00 – 17.00

Lokasi : Centerpoint – Angkasapura

PIC : Cak Busral

Instruktur : Dedek Okta Andi

Kelompok : Garuda

Gambaran Umum

  1. Sifat Kegiatan

Kegiatan dilakukan dalam bentuk dinamika kelompok dengan menggunakan media petualagan di alam bebas dengan pendekatan metode belajar yang disebut “Adventure Learning”. Bersifat tun dan satu pihak dikendalikan.

Keseluruhan peserta dibagi kedalam 10 kelompok menurut kata sandi yaitu alfa, beta, charly, delta, echo, forfox, gamma, h, I, dan J.

Intruksi diberikan secara umum oleh chief instructor dan tidak dievaluasi pada big group, kemudian selanjutnya diberikan pada tiap instruktur menjadi small group yang tiap sesi permainan di review.

  1. Materi

Materi yang diberikan pada tiap kelompok berupa permainan simulasi dinamika kelompok diluar ruang dengan metode games, group dynamic, dan outdoor activity berupa asoko competiton, reef knots, choco river, citting the picture, two tower, high rope, dan paintball.

  1. Cuaca

Cuaca cerah dan suhu udara tidak begitu panas.

  1. Evaluasi

1. Teknis

Secara umum kegiatan berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan berarti. Beberapa hal untuk dievaluasi adalah:

a. Pada pembagian kaos peserta tampak menjadi kurang teratur setelah beberapa menit karena saling tukar kaos.

b. Persediaan air minum isi ulang yang terlambat, sehingga peserta banyak yang mengeluh dehidrasi dan kehausan.

c. Instruksi asoko games tidak begitu ditekankan pada instruktur bahwa dilakukan sebelum istirahat, sholat dan makan. Akibatnya ada sebagian kelompok yang belum melaksanakan game tersebut dan terpaksa menunggu untuk melaksanakan asoko competition.

d. Sebagian instruktur memberikan instruksi yang salah terhadap choco river game. Dikarenakan instruktur tersebut salah persepsi terhadap apa yang sudah disimulasikan.

e. Kondisi vakum terjadi disebabkan oleh kurangnya koordinasi dan delegasi tugas instruktur untuk menghitung skor. Namun demikianhal ini sedikit diatasi oleh chief instructor dengan mengajak peserta melakukan penyegaran melalui big group ice breaking.

f. Kurangnya energizer pada setiap instruktur untuk mengisi waktu-waktu luang sehingga kelihatan agak sedikit kaku.

2. Crew

a. Keterlambatan sebagian instruktur terhadap kehadiran yang seharusnya dijadikan sebagai waktu untuk the last briefing. Sehingga briefing tersebut ditiadakan.

b. Kebingungan tampak di wajah sebagian instruktur dalam menghandle kelompoknya. Dikarenakan kurangnya komunikasi terhadap sesama.

c. Kurang saling menyapa diantara instruktur (komunikasi verbal) hingga tampak seperti acuh tak acuh antara instruktur yang satu dengan yang lainnya.

3. Peserta

a. dari yang direncanakan 173 orang peserta, ada beberapa orang yang tidak dating. Tapi bisa dikatakan 96 % peserta yang datang.

b. Ada sebagian peserta yang tidak konsisten terhadap ground rules yang telah mereka sepakati, seperti halnya merokok.

c. Kurangnya kesadaran sebagian peserta terhadap lingkungan, contohnya membuang box nasi tidak pada tempatnya. Dan juga botol aqua yang telah ditempel nomorpun juga berserakan.

4. Pribadi

a. Saat H-1 sudah mengadakan briefing dan simulasi games tapi agak sedikit kurang tahu dimana posisi tiap-tiap games tersebut. Mencoba untuk mengusulkan matriks instruktur dibawa pulang kerumah untuk lebih dikuasai. Tetapi tidak diperkenankan.

b. Hari H, jam sudah diatur untuk bangun lebih cepat. Tetapi nyatanya bangun telat. Akibatnya saya juga telat datang ke trust adventure. Ditambah dengan jarak yang jauh antara kost dan trust adventure.

c. Ketika acara akan dimulai ada perasaan gugup. Karena melihat pesertanya merupakan sarjana-sarjana muda yang baru saja lulus. Tetapi hal tersebut bisa saya atasi dengan percaya diri.

5. fasilitas dan equipment

a. Makan untuk instruktur agak telat karena bentuk makanannya tidak sama dengan peserta.

b. Tidak kondusifnya tempat istirahat dan sholat sehingga sebagian peserta mengeluhkan hal tersebut.

c. Ketidaktersediaan P3K.

Pekanbaru, November 2009

Dedek Okta Andi

instruktur